Injil Markus 4:35-40

Bahan renungan warta paroki tgl 19-20 Juni 2021

“Lalu mengamuklah taufan yang sangat dasyat, dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air…”Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”. Yesuspun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau, “Diam! tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau pun menjadi teduh sekali. Lalu Yesus berkata kepada murid-muridNya, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”

Bapak, ibu dan saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus, seberapa sering dalam hidup kita mengalami peristiwa seperti itu. Seberapa sering kita mengalami kekecewaan dan bahkan meragukan kehadiran Yesus, karena teriakan kita minta pertolonganNya seolah tidak didengar, tidak disambut?.

Melalui kisah bacaan ini, kita diajak untuk merenungkan kembali seberapa kadar iman percaya kita kepada Tuhan Yesus, pada saat-saat harus menempuh badai kehidupan. Melalui pengalaman para murid ketika menghadapi ombak dan badai yang akan menenggelamkan perahu mereka. Para murid, orang-orang terdekat yang selalu bersama-sama Yesus, yang sehari-hari menyaksikan bahkan merasakan kuasa Tuhan Yesus, pun masih juga ada keraguan kepadaNya. Apakah kadar iman kita melebihi iman para murid…pertanyaan yang patut direnungkan.

Dalam hidup yang terberkati (berkat sehat jiwa raga, hidup tidak berkekurangan, keluarga bahagia, menikmati status sosial  kemasyarakatan, dihormati di lingkungan baik rumah, gereja, tempat kerja…dlsb) sering kita menjadi lengah. Sering kita menganggap bahwa hidup dalam dan bersama Tuhan Yesus, ya seharusnya seperti itu. 

Padahal, bapak ibu dan saudara yang terkasih, ditengah kehidupan keluarga, jemaat dan masyarakat, kita semua punya kemungkinan menemui beragam badai. Ada saat dimana  Tuhan Yesus mengajak kita untuk bertolak ke tempat lain, bertolak ke laut yang lebih dalam, meninggalkan zona nyaman…(seandainya Tuhan bertanya dan mengajak kita, kita akan menjawab, ah Tuhan, jangan saya, atau saya disini saja. Suatu ungkapan wajar sebab siapa yang mau hidup dalam masalah). Mungkin kita mengalami masalah di tempat bekerja,  keluarga sakit tak kunjung sembuh, anak-anak kita jatuh dalam perangkap obat-obat terlarang, atau bahkan mungkin kita dikucilkan dari pergaulan sosial karena keKatolikkan kita …dlsb. Dalam menghadapi situasi seperti itu, sebagai ciptaan yang diberi akal budi, tentu kita akan berupaya sebisa dan sekuat tenaga keluar dari badai. Namun, seringkali, sekuat apapun usaha kita hasilnya tidak/belum sesuai harapan dan keinginan. Kita juga berupaya menghadirkan, melibatkan Tuhan, namun tetap tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Muncul lah pertanyaan kita, keragu-raguan kita, “Tuhan, dimanakah Engkau, apakah Tuhan membiarkan saya semakin tenggelam”, Dalam situasi itu, reaksi yang muncul adalah menyalahkan pihak lain, bahkan menyalahkan Tuhan, tidak berbeda dengan keluh kesah para murid Yesus.”Guru, Engkau tidak perduli kalau kami binasa”.

Sesungguhnya, saat berada di tengah badai adalah saat yang terbaik untuk merasakan kuasa dan penyertaan Tuhan. Kita akan menjadi lebih tenang dalam menghadapi badai, karena iman dan percaya bahwa Tuhan sungguh-sungguh selalu ada dan menyertai kita. Dia akan memberikan kekuatan yang cukup agar kita mampu melewati setiap badai yang Dia izinkan terjadi dalam kehidupan kita. Dia yang mengajak kita untuk pergi ke seberang, maka tentulah Dia yang bertanggungjawab sepenuhnya akan keselamatan kita. 

Dalam sikap yang berbeda, kita berupaya tetap percaya kepadaNya, namun kita tidak mampu merasakan kehadiranNya. Bahkan, kita cenderung memaksakan keinginan pribadi. Mengaharapkan campur tangan dan pertolongan Tuhan menurut kehendak kita, bukan kehendak Dia. Sesegera mungkin, hasilnya kita rasakan. “aku percaya kepadaMu, mengapa Engkau tidak berbuat apa-apa untuk menolong aku”..”ah, kata Tuhan, Aku sudah mengirim perahu tiga kali” (Penyelenggaraan ilahi dalam tiga perahu penyelamat, doa sang katak 1, Anthony de Mello)

Bapak, ibu dan saudara yang dikasihi Tuhan Yesus. Tenang ditengah badai bukan berarti pasrah “buta/tanpa berusaha” dan melarikan diri, melainkan suatu sikap siap menghadapi kenyataan. Belajar dari firman Tuhan sebagaimana kutipan injil ini, belajar dari pengalaman hidup yang sudah kita alami, semestinya menjadikan kita menjadi pribadi yang rendah hati, pribadi yang bisa menempatlan diri dengan baik dihadapan Tuhan. Bahwa karena kasihNya, Tuhan memberikan kehidupan yang baik bagi kita. Namun setiap saat kita juga harus siap bila diajak Yesus ke “laut yang lebih dalam”. Kita juga harus selalu siap, bila Yesus menghendaki kita mengulurkan tangan bagi siapapun yang “akan/hampir tenggelam”. Mengulurkan dan menjadi kepanjangan tangan Tuhan dan menjadi saluran berkatNya bagi sesama. Ungkapan bijak ini, bisa kita renungkan baik-baik…”kapal yang hanya berada di pantai, memang akan selalu aman, tetapi bukan untuk itu sebuah kapal dibuat”. (“a ship in harbor is safe, but that is not what ships are built for…, John Shedd).

Lirik lagu ini, ternyata tidak sesederhana apa yang tersurat, ada penghiburan dan penguatan yang bisa kita renungkan….di dalam doa, laut terenang, sabda penguat doa, resapkanlah didasar hatimu, sedalam laut medan hidupmu (dayung di arus, Madah Bhakti 221).

Marilah kita selalu berdoa memohon kepadaNya, saat dalam duka, saat menghadapi badai kehidupan, menghadapi setiap kesulitan yang tidak tertanggungkan…ya Tuhan, disaat badai bergelora, aku berserah kepadaMu, dan ijinkan aku ada selalu bersamaMu. Kita berdoa pula dengan penuh sukacita, saat Tuhan berikan kesempatan berbuat baik…aku bersyukur ya Tuhan, sebab Engkau berkenan memakai aku menjadi alatMu. 

Semoga Tuhan memberkati kita, Amin.

Priyo Marwanto – PPK PKKC