Paskah: Menjadi Terang Sekecil Apapun

Pandemi COVID-19 menjadi titik balik bagi semua orang di dunia, termasuk Indonesia. Harus menjaga jarak, memakai masker mencuci tangan, dan protokol kesehatan lainnya. Kebiasaan ini menjadi sebuah tingkah laku yang baru.

Sejurus dengan kebiasaan baru ini, ada kerinduan yang cukup unik. Entah apa rasanya berdempet dan memasuki pintu KRL commuter line. Dengan dorongan dan riuh penumpang yang terbangun karena situasi. Entah apa rasanya berdialog dengan para penumpang kereta atau Transjakarta yang senasib sepenanggungan. Bercanda tanpa tahu tujuan dan berkenalan dengan nama masing- masing. Hal tersebut menjadi memori manis tatkala pandemi menyeruak. Terutama untuk saya sendiri.

Berkuliah di daerah Jakarta Selatan mengharuskan saya menggunakan moda transportasi umum. Kereta yang sesak dan penuh setiap saat menjadi makanan keseharian.

Setiap pagi, saya sudah bersiap-siap di ujung pintu—gerbong 6 atau 7. Menggantung tas di bagian depan badan, lalu tangan bersiap mengepal kuat besi di pinggiran pintu. Alih-alih, agar terhindar dari dorongan rusuh para penumpang di setiap perhentian. Suatu ketika, saya bertemu gerombolan bapak- bapak dari Stasiun Citayam. Mereka tidak hanya asyik, tapi juga toleran.

Mereka mengajak saya mengobrol panjang lebar. Meski mereka bapak-bapak, mereka pandai mengimbangi perempuan seusia saya. Sekadar warna lipstik dan potongan rambut saja, bisa menjadi bahan obrolan yang seru selama 30 menit  menuju kampus. Mereka selalu melindungi saya dari gusarnya dan juga dorongan penumpang kereta. Hingga membantu saya turun di stasiun tujuan.

Layaknya seorang ayah memberi nasihat terhadap anak sendiri, mereka berpesan agar saya rajin belajar, juga membahagiakan orangtua. Bukan itu saja, saya diminta untuk berhati-hati dengan pergaulan. Di satu sisi, saya dibuat heran. Mereka tak pernah lupa untuk mengingatkan saya ke ke Gereja (misa). Mengucapkan selamat natal dan paskah, hingga selalu mengapresiasi dan tertarik perihal cerita saya yang aktif dalam kegiatan Kekatolikan di kampus. Uniknya, mereka memberi saran persoalan pencarian dana.

Pandemi memang menyakitkan. Saya tak berhenti merindu. Pengalaman lain yang saya rindu adalah, kegiatan Napak Tilas. Kegiatan ini merupakan ciri khas  menjelang paskah yang dilakukan pada malam Kamis Putih bagi para mahasiswa katolik di Jakarta. Berjalan dari wisma setiap unit lalu menuju Katedral Jakarta. Dan faktanya jarak tempuh terjauh berasal dari unit selatan, dengan lokasi wisma yang berada di daerah Margonda Depok. Saya tak pernah bayangkan betapa lelahnya berjalan kaki dari Depok ke Katedral Jakarta. Banyak yang mulai lelah, banyak yang mulai sakit.  Akan tetapi, saya pun kagum melihat niat, kepercayaan, dan keteguhan hati dari para peserta Unit Selatan. Mereka bisa. Dan semua itu tergenapi. 

Dua cerita adalah dua poin paskah saya selama berkuliah 3 tahun ini yang berbeda  dengan sekarang dikarenakan pandemi. Saya bersyukur dengan hal tersebut dan merindukannya. Berharap, saya bisa berada di masa itu kembali.

Memang ini hanya cerita biasa. Tak apa. Justru karena menganggap itu biasa, hingga tak mampu melihat esensi paling pentingnya. Saya menyadari, bahwa waktu begitu luar biasa berharga, hingga saya  tidak menyadari orang-orang yang saya kenal justru menjaga kita.

Gerombolan bapak-bapak  tersebut ibarat virus positif yang memecah ketegangan di gerbong sesak. Yang tadinya tak kenal hingga tertawa bersama dalam satu gerbong. Mereka sering membantu ibu hamil atau lansia  menemukan kursi kosong di ujung kereta, saat kereta sedang penuh-penuhnya.

Rawannya jalan untuk peserta Napak Tilas menjadi kekhawatiran. Tapi warga sekitar dan polisi berjaga-jaga dari hal yang tidak diinginkan. Ini virus positif. Bahkan ada beberapa warga yang berinisiatif menyumbang makanan untuk para peserta. Hal tersebut sangat diluar dugaan panitia.

Saya juga mengendapkan pengalaman tersebut dan merefleksikan beberapa hal. Bahwa selama ini keamanan, kebahagiaan, dan kenyamanan bukan murni dari diri sendiri. Tapi juga turut serta dari orang lain. Ibarat sebuah mobil, kita dituntut saling menjaga diri untuk tak keluar garis, harus tahu aturan, dan situasi. Bila ada yang salah jalan, pengemudi lain juga akan bantu memberikan jalan yang benar.

Pandemi ini mengajak saya untuk melihat kedalam sebuah realitas kehidupan yang ternyata penuh cinta dan kerinduan. Selama ini keegoisan dan keangkuhan menutupinya. Hal sederhana yang tanpa saya sadar, meremehkan dampak dari sebuah kesederhanaan. Dan bagi saya itu cahaya kecil yang luar biasa. Tuhan memiliki cara yang spesial agar membuat kita sadar dan mengerti.  Itu disebabkan kita yang juga spesial di hadapan-Nya.

Pandemi ini berakhir adalah harapan saya dan Anda—untuk  Indonesia dan dunia. Dan walaupun masih ditengah masa krisis, semoga kita bisa menjadi terang yang tulus ikhlas dan memberikan terang untuk orang lain. Dengan kesederhanaan, rendah hati, dan totalitas.

Christine Natalia Hermawan

OMK Wilayah St. Yohanes Penginjil – Paroki Keluarga Kudus Cibinong